Sri Suyanta Harsa
Muhasabah 5 Muharam 1443
Pesan Tawakal
Saudaraku, di samping ibrah adanya perubahan, ikhtiar, peradaban, pengorbanan, pragmen hijrah juga mengajarkan tawakal. Inilah yang melayari tema muhasabah hari ini duracik di bawah judul pesan tawakal. Betapa tidak!
Sedari membulatkan tekad untuk berangkat hijrah, Nabi begitu tawakal pada Allah. Dalam seluruh rangkaian aktivitas sejak dari sesi niat atau perencanaan, hingga pelaksanaan sejatinya telah diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Sehingga ketika terjadi ketentuan apapun atas usaha maksimal hamba tentu menjadi bagian dari pengabdiaannya pada Allah. Inilah indahnya tawakal.
Simaklah apa yang terjadi pada diri Nabi Muhammad saw saat semua kemampuan telah dikerahkan sehingga hijrah terlaksana dengan baik meski juga terdapat dinamika dalam prosesnya. Adalah Suraqah bin Malik, setelah mengetahui kabar bahwa Nabi telah meninggalkan Makkah, dan orang kafir quraisy mengeluarkan sayembara dengan menyiapkan hadiah 100 ekor unta bagi sesiapa yang dapat menangkap hidup atau mati Nabi Muhammad saw, kemudian bergegas mengejar Nabi yang kala itu ditemani Abubakar Al-Siddiq.
Ketika berhasil mencapai tempat yang memungkinkannya untuk mendengar doa Nabi Muhammad saw, kuda yang dikendarai Suraqah terperangkap tak bisa bergerak. Suraqah pun dimaafkannya, dan Suraqah pun masuk Islam, seraya meyakini bahwa Nabi Muhammad saw senantiasa dalam perlindungan dan penjagaan Allah ta'ala. Perjalanan hijrahpun diteruskan hingga meraih tujuannya.
Di samping itu lihatlah para sahabat yang ikut berhijrah begitu pasrah pada Allah dengan meninggalkan harta dan usaha mereka demi agama. Dan sesampai di Madinah hanya meminta ditunjukkan jalan ke pasar sehingga mereka dapat berusaha lagi dan memperolehnakfah untuk diti dan keluarganya.
Itulah dahsyatnya ajaran tawakal. Jadi, tawakal bukanlah pertanda kelemahan tetapi justru menumbuhkan kekuatan, tawakal bukanlah sikap pasrah yang salah kaprah tetapi sikap pasrah atas segala ikhtiar yang telah dilakukan sebelumnya.
Tawakal di sini dipahami sebagai “wasilah” yang sangat kuat menghubungkan antara hamba dan Allah Rabbuna, dengan menyandarkan dan menyerahkan segala urusan kepada Allah sepenuhnya. Dalam tawakal terhimpun keyakinan akan kasih-sayang, rahmat dan hikmat Allah, dimana dengan hal itu, kebulatan keyakinan menyerahkan diri kepada Allah dapat terwujud.
Saking dahsyatnya, maka dalam normativitas Islam, terdapat banyak sekali seruan untuk bertawakal. Di antara seruan bertawakal Allah berfirman yang artinya, Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.’ (QS. Al-Imran 159)
Berdasarkan normativitas di atas, di antaranya dipahami bahwa tawakal dilakukan setelah membulatkan tekad terhadap suatu urusan atau cita-cita atau keinginan atau keputusan. Artinya tawakal itu aktif bukan pasif apalagi pasrah. Aktif dengan menyandarkan segala urusannya pada Allah zat yang maha mengatur segalanya. Sejak dari niat sudah menyandarkannya pada Allah, selama proses berikhtiar juga dilakukan dengan bersandar kepada Allah sampai pada natijah atau hasilnya juga bersandar pada Allah.
Di ayat lain Allah berfirman yang artinya Ya’qub berkata, “Hai anak-anakku, janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain. Meskipun demikian, Aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah: kepada-Nya lah Aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal, berserah diri.” (QS Yusuf 67)
Dari ayat yang maknanya tertera di atas di antaranya dipahami bahwa terdapat banyak alternatif dan jalan menuju bahagia yang bisa diusahakan oleh manusia. Namun rasa bahagia itu diturunkan oleh Allah melalui pilihan yang mana merupakan kemahaadilan atas segala ketentuanNya. Maka kita dituntut benar-benar bertawakal kepadaNya sebagaimana firman Allah yang artinya, Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.(Qs. Al-Maidah 23) dan di ayat lain Allah berfirman yang artinya, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.(Qs. Ali Imran 159)
Di ayat lain Allah berfirman yang artinya Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya” (QS al-Thalaq 2-3)
Hal ini seperti juga dijelaskan dalam sebuah riwayat, Dari Umar Bin Khattab ra, beliau berkata, ‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Jikalau kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian seperti seekor burung, pagi-pagi ia keluar dari (sarangnya) dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.’ (HR. Imam Ahmad & Al-Tirmidzi)
Meskipun tuntutan dan tuntunan untuk bertawakkal dengan mudah ditemukan dalam al-Qur'an juga hadits, namun sering disalahpahami atau bahkan salah disikapi. Misalnya tawakal dimaksudkan sebagai sikap lari dari tanggung jawab, atau dipraktikkan dengan berpangku tangan menunggu keajaiban datang dari langit, atau sikap fatalistik lainnya.
Dalam suatu kesempatan, Nabi menyaksikan seorang Arab Badui yang meninggalkan begitu saja untanya dengan alasan sudah tawakal pada Allah atas untanya. Lalu Nabi menasihati "ikat terlebih dahulu untamu, baru tawakal". Artinya berikhtiar "mengamankan" untanya terlebih dahulu, baru bertawakal pada Allah. Allahu a'lam
Tags:
Muhasabah Harian