Muhasabah ke-2.702, Tahun ke-8,
8 Rabiul Akhir 1444
"Cinta" Menulis
Saudaraku, "witing trisno jalaran soko kulino" lahirnya cinta disebabkan karena terbiasa atau bisa ala biasa merupakan di antara strategi untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap sesuatu. Tentu termasuk membaca seperti telah diingatkan dalam muhasabah yang baru lalu dan juga menulis seperti tema muhasabah hari ini. Ya mengapa menulis sebaiknya dibiasakan? Tentu, karena menulis itu penting; bahkan menulis itu ibadah; dan yang pasti menulis itu membawa berkah. Asalkan niatnya baik, yang ditulis juga yang baik-baik, dan tujuannya juga untuk kebaikan.
Tradisi tulis itu menambah menyempurnakan pemahaman setelah tradisi tutur dan tradisi baca. Mengapa renaisanse Islam abad XVI-XVII bisa terjadi di Asia Tenggara yang pusatnya di Aceh? Ya, di antara kunci gerakannya adalah mulai membumikan tradisi tulis, setelah sebelumnya berkembang tradisi tutur.
Ulama semisal Hamzah Al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Abdurrauf Al-Singkili, Nuruddin Al-Raniry adalah para perintis pembaharu di negeri ini yang sudah memulai dan membuktikannya dengan menorehkan banyak karya tulisnya. Dan kitab-kitab karyanya menjadi turats yang amat berharga hingga kini bahkan sampai kapanpun jua yang terus dibaca dan digali kalinat-kalimat hikmahnya.
Bila tuntutan pertama sekali dalam Islam adalah titah membaca, bacalah!, bacalah dengan nama Rabbmu yang menciptakan...(iqra', iqra' bismi rabbika lladzi khalaq...), maka tuntunan berikutnya tulis, tulislah apa yang kamu pikirkan! Nabi Muhammad saw bersabda, qayyidu 'ilma bil-kitabah, ikatlah ilmu dengan tulisan. Dengan demikian menulis itu upaya mengikat ilmu agar tidak cepat lepas atau hilang dari jangkauan ingatan kita. Suatu informasi bila hanya didengar atau dibaca, maka ia akan cepat lupa. Agar informasi tidak mudah dilupakan, maka sebaiknya ditulis. Apalagi setelahnya, ilmu itu kemudian diajarkan pada orang lain.
Ativitas menulis lazimnya dilakukan setelah cerdas "membaca" atau setelah memperoleh informasi (baca ilmu pengetahuan). Meskipun aktivitas menulis dilakukan setelah membaca, namun ketika proses menulispun justru kita memperoleh ilmu pengetahuan. Ini juga bermakna bahwa seorang penulis pasti biasa membaca, tapi sebagai pembaca belum tentu sebagai penulis.
Aktivitas menulis relatif lebih aktif, kreatif dan produktif sedikit daripada membaca. Mengapa? Karena menulis itu menghasilkan atau memproduksi tulisan berupa tanda yang jelas dan bisa dibaca. Tulisan itu bisa berupa ide, gagasan, harapan, curhat dan pengalaman hidup (sejarah). Intinya yang dipikirkan dan yang dialami, baik diri sendiri maupun orang lain.
Sesuatu yang dipikirkan dan dialami ketika dituangkan dalam tulisan lazimnya mewujud dalam beragam bentuk, seperti catatan harian, artikel, karya ilmiah, buku, prosiding, jurnal dan seterusnya. Meski menulis itu tidak semudah yang dibayangkan, tetapi juga tidak sesulit yang dipikirkan.
Lontuan berkeyakinan bahwa ternyata, hanya dengan hidayah Allah saja menulis benar-benar dapat dilakukan. Apalagi bisa dilakukannya secara istiqamah. Dengan demikian upaya menjemput hidayahNya yang tidak bisa ditunda-tunda. Di antaranya dengan berusaha senantiasa taat kepadaNya, menghiasi diri dengan akhlak mulia, selalu dalam kondisi memiliki air wudhuk apalagi saat membaca atau menulis, bersikap takdhim misalnya duduk di atas sajadah pada saat-saat yang mustajabah, sembari memasang niat tulus ikhlas tidak untuk riya apalagi untuk menyombongkan diri, menyiapkan sarana untuk menulis dan memulainya berdoa dengan basmalah dan hamdalah setelah selesai.
Di saat jari jemari menari menekan tombol-tombol keypad handphone atau keypad komputer tentu dilatari oleh suasana batin yang sangat kompleks dari penulisnya. Makanya setiap tulisan memiliki genre unik juga spesifik yang menggambarkan suasana hati penulisnya, pengalaman hidup, cita cinta dan atau sosiokultural yang mengitarinya. Di sinilah pentingnya mengakomodir setting sosial budaya dan hal ikhwal penulisnya dalam kajian biographi seseorang.
Menulis apa saja dimulai dari yang paling mudah dan sederhana, dari apa yang dipikirkan (seperti saat membuka facebook: Apa yang anda pikirkan?) dan yang dialami dalam hidup sehari-hari. Bila tuan puan sebagai seorang ayah atau ibu, pasti ada yang dipikirkan. Tulis saja misalnya apa harapan tuan puan atas ananda, atau bagaimana pengalaman atau suasana batin yang dialami. Demikian juga halnya bila kita seorang pendidik, guru, dosen, pejabat, pimpinan, anggota dewan, dokter, pedagang atau predikat apapun lainnya..
Nah ketika dianugrahi kemampuan merangkai kata demi kata untuk mengikat makna, sehingga mengantarkannya pada kedekatan dirinya dengan Rabbnya, maka layak disyukurinya baik di hati, lisan maupun perbuatan nyata.
Langkah praktisnya adalah, setelah berdoa dan membaca basmalah, maka mulailah menulis apa saja. Bahkan mulanya dengan tidak menghiraukan ejaan, tanda baca, mana subyek mana obyek atau predikatnya. Pokoknya tulis dan tulus, tulis dan tulus, tulis dan tulus. Nah ketika sudah ada tulisan tentang gagasan apapun atau suasana batin yang ada, maka kini saatnya mengulangi membaca kembali yang sudah tertulis. Inilah saatnya merapikan; mensistematisasikan, mengedit membenarkan ejaan dan susunan kalimatnya. Begitulah, proses ini diulangi, diulangi lagi, dan diulangi lagi. Dengan izin Allah, kita pasti bisa karena biasa, kita pasti cinta menulis. Aamiin ya Mujib al-Sailin
Tags:
Muhasabah Harian