Sri Suyanta Harsa
Muhasabah Harian Ke-3668 Serial Hijrah
Kamis, 7 Muharam 1447
Bahagia Lantaran Tidak Hubbudunya
Saudaraku, di antara sumber keresahan hidup manusia adalah kecintaannya terhadap dunia (harta, tahta, keluarga) secara berlebihan atau apa yang dikenal dengan hubbud dunya. Padahal, kita tahu bahwa dunia ini, pada hakikatnya, hanya tempat singgah saja, bukan tempat tinggal untuk selamanya. Termasuk seisinya adalah hiasan saja, bukan milik abadi. Makanya Islam mengingatkan bahwa hidup di dunia adalah ujian, bukan tujuan.
Oleh karena itu kecintaan terhadap dunia musti dikendalikan, jangan sampai melampaui batas kewajaran. Karena ketika kecintaan terhadap dunia telah tertanam begitu dalam di hati, maka mulailah jiwanya menjadi gelisah, mulailah hatinya menjadi sempit, dan mulai rusaklah akhlaknya. Tak heran, Rasulullah ï·º mengingatkan: “Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan (dosa).” (HR. Baihaqi)
Saudaraku, dunia itu bila diibaratkan seperti sepatu, ia mungkin penting, karena dapat melindungi kaki, tapi tempatnya ya hanya di kaki, bukan di hati. Sepatu yang baik memang membuat perjalanan terasa nyaman, tapi tidak pernah menjadi tolok ukur mulianya seseorang.
Jika sepatu diletakkan di hati, maka serinh memicu penyakit hati: seperti sering tinggi hati, apalagi saat merasa sepatunya menjadi sepatu yang terbaik, termahal dan lebih baik dari milik orang lain. Juga sering sakit hati, saat sepatunya direndahkan atau dicuri oleh orang lain. Sering iri hati, saat melihat orang lain memiliki sepatu yang lebih bagus, bermerek. Sering hati gelisah, takut sepatunya diambil orang lain atau rusak, Bahkan hati tidak malu, berbuat curang, bohong, atau zalim, demi mendapatkan sepatu yang lebih mewah.
Itulah gambaran kecintaan terhadap dunia yang berlebihan. Selama dunia hanya sekadar alat, hati kita tetap lapang. Tapi saat dunia menempati singgasana di hati, hidup ini terasa sempit, penuh persaingan, penuh kecemasan. Dengan demikian bahagia itu justru saat kita mampu meletakkan dunia pada tempatnya. Dunia itu ujian bukan tujuan, dunia baik itu harta, tahta, dan keluarga merupakan amanah, bukan sumber keangkuhan, apalagi menjadi pusat kehidupan.
Firman Allah SWT telah mengingatkan: “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan, saling berbangga di antara kalian, dan berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak-anak…”(QS. Al-Hadid: 20)
Tentu, semua itu, baik harta tahta maupun keluarga akan kita tinggalkan atau meninggalkan kita. Sepatu yang kita banggakan; rumah yang kita kagumi, harta yang kita kumpulkan, jabatan yang kita kejar, bahkan keluarga yang kita cintai, semua akan kita tinggalkan atau satu per satu permisi meninggalkan kita. Yang abadi hanyalah amal shaleh, keikhlasan, dan ketulusan hati.
Saudaraku, bahagia itu saat kita berhasil melepaskan hati dari belenggu cinta dunia yang berlebihan. Bukan berarti kita tidak boleh punya harta, tidak boleh berusaha, atau tidak boleh menikmati nikmat dunia, tapi semua itu harus tetap pada porsi dan tempatnya: di tangan, mungkin dalam genggaman tapi bukan di hati. Karena saat dunia di tangan, kita bisa mengendalikannya. Tapi saat dunia di hati, dunia yang mengendalikan kita. Bahagia itu, saat kita bisa memegang dunia, tanpa dunia memiliki kita. Saat kita bisa menggunakan dunia untuk kebaikan, tanpa dunia mengikat hati kita.
Semoga bulan Muharam ini, kita mampu hijrah: hijrah meninggalkan cinta dunia yang berlebihan, dan melangkah menuju cinta Ilahi yang hakiki. Agar hidup lebih tenang, hati lebih lapang, dan jiwa lebih siap menapaki perjalanan pulang kepada Allah. Aamiin, ya Rabbal 'alamin.
Tags:
Muhasabah Harian Ke-3668